Bareskrim Polri telah melakukan pemeriksaan perdana terhadap terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra, Jumat (31/7/2020). Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Awi Setiyono mengatakan pemeriksaan berkaitan dengan adanya surat jalan dan bebas Covid 19 yang digunakan pelaku. Dalam kasus ini, Djoko Tjandra sementara ini masih berstatus saksi.
Awi mengatakan kasus tersebut merupakan pengembangan dari kasus yang menjerat mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo. "Pada tanggal 31 Juli 2020 JST sudah dilakukan pemeriksaan sebagai saksi oleh penyidik terkait kasus surat palsu yang melibatkan BJP PU," kata Awi di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (3/8/2020). Dalam pemeriksaan itu, Awi mengatakan Djoko Tjandra menunjuk pengacara Otto Hasibuan sebagai kuasa hukumnya.
Namun demikian, Awi mengatakan kepolisian belum mendapatkan surat penunjukan kuasa hukum dari Djoko Tjandra. "Menurut JST bahwa yang bersangkutan sudah menunjuk Otto Hasibuan sebagai kuasa hukum dalam menghadapi perkara di Bareskrim Polri. Namun demikian, sampai dengan saat ini penyidik belum melihat surat kuasanya," katanya. Di sisi lain, ia belum bisa berbicara banyak terkait perkara penerbitan surat jalan dan bebas Covid 19 yang dilakukan Djoko Tjandra.
Dia menyampaikan kemungkinan ada kasus lainnya yang akan terungkap dalam pengembangan kasus tersebut. "Kemungkinan ada kasus kasus lainnya termasuk adanya aliran dana dalam kasus JST tersebut," katanya. Kuasa hukum Djoko Tjandra, Otto Hasibuan menyampaikan pihaknya akan kembali menemui kliennya di rutan cabang Salemba Mabes Polri, Jakarta Selatan pada Senin (3/8/2020) ini.
Pertemuan itu diakuinya akan membahas sejumlah masalah. "Jadi, ketemu (Djoko Tjandra, Red) nanti sore," kata Otto kepada wartawan, Senin (3/8/2020). Otto mengatakan pertemuan itu nantinya Djoko Tjandra ingin berbicara seputar kasusnya.
Salah satunya, keinginan kliennya untuk dibebaskan dan tidak ditahan di dalam sel rutan cabang Salemba Mabes Polri. "Tentu kita tanya apa yang diinginkan (Djoko Tjandra, Red), apa yang bisa kita bantu. Itu hal hal penting, ada beberapa hal bahwa sebenarnya putusan PK itu batal demi hukum," jelasnya. Dia menyinggung mengenai dasar keputusan penahanan Kejaksaan Agung RI yang berasal dari Putusan Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali nomor 12 PK/PID.SUS/2009.
Dia mengklaim dasar penahanan tersebut diklaim tidak berdasar. Pasalnya di dalam putusan tersebut, kata dia, tidak ada perintah penahanan kepada Djoko Tjandra. Hal itu diklaim bertentangan dengan pasal 197 KUHAP bahwa surat putusan pemidanaan harus memuat unsur perintah terdakwa ditahan.
"Karena dalam amar putusan, tidak ada kata kata 'memerintahkan terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan'. Berdasar Pasal 197 KUHAP, maka putusan PK itu batal demi hukum. Kalau sudah batal, penahanan yang dilakukan tidak sesuai, tidak sah karena tidak ada dasar hukumnya," pungkasnya.